Jumat, 09 September 2016

Kebangkitan Madrasah, Madrasah Lebih Baik



Kebangkitan Nasional ditandai dengan berdirinya organisasi Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908. Melalui Boedi Oetomo inilah pendidikan Indonesia bangkit. Spirit inilah yang harus terus dibangkitkan dalam setiap kali memperingati hari Kebangkitan Nasional.

Kebangkitan adalah semangat untuk menjadi lebih baik dalam menyongsong masa depan yang lebih baik pula. Dalam sejarah pendidikan Indonesia—madrasah, sebagai institusi pendidikan yang tua, setelah pesantren, di bawah naungan Kementerian Agama—baru ‘berasa’ mendapatkan pengakuan dari pemerintah setelah dimasukkan dalam UU Sisdiknas 2003.

Bahkan, setelah itupun, dalam kenyataannya perlakuan tidak samapun masih menimpa madrasah. Contoh yang masih hangat di ingatan adalah ‘dibegalnya’ siswa-siswa MI Kalirejo, Kecamatan Ungaran Timur, MI Al Bidayah, Desa Candi, Bandungan, dan MI Wonokasihan, Desa/Kecamatan Jambu (Suara Merdeka, 11/03/15) untuk melaju OSN (Olimpiade Sains Nasional) ke tingkat Provinsi. Alhamdulillah-nya, protes keras atas kasus ini, membuka pikiran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan untuk mengumumkan bahwa OSN dibuka untuk semua siswa (Suara Merdeka, 12/3/15).

Masuknya madrasah di dalam UU Sisdiknas 2003 memberikan angin segar bagi pengembangan dan bangkitnya madrasah. Dari tahun ke tahun, citra madrasah mulai membaik. Inilah yang diungkapkan oleh Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin (LHS), ketika berbincang dengan penulis, setelah acara pembukaan Perkemahan Pramuka Madrasah Nasional (PPMN) I di Lapangan Tembah Akmil Magelang (12/05/15).

LHS mengungkapkan bahwa PPMN I harus menjadi momentum kebangkitan madrasah. Menurutnya, indikator-indakator kebangkitan madrasah yang nyata adalah pertama, mulai membaiknya citra madrasah di publik. Kini, banyak orangtua yang mempercayakan pendidikan anak-anaknya di madrasah. Akhirnya, madrasah-madrasah (baik yang negeri maupun swasta) kini menolak calon peserta didik karena terbatasnya daya tampun ruang kelas.

Kedua, capaian-capaian prestasi akademik maupun non akademik siswa-siswi madrasah, tidak hanya di tingkat nasional tetapi juga internasional. Tahun ini tercatat ribuan siswa-siswi madrasah Aliyah telah diterima di Perguruan Tinggi Negeri ternama, seperti UI, UGM, UNY, ITB, IPB, ITS dan UNDIP. Sebelum tahun 2000-an, sudah mendapatkan kenyataan yang seperti ini. Untuk non akademik misalnya, Bahana Swara Marching Band Madrasah Salafiyah menyebet juara untuk beberapa kategori dalam Kejuaraan Nasional Hamengku Buwono Cup 2015 (Suara Merdeka, 19/05/15). Dan masih banyak lagi deretan daftar prestasi akademik dan non akademik siswa-siswi madrasah tingkat nasional maupun internasional.

Modal Kebangkitan Madrasah

Kenyataan-kenyataan tersebut menjadi alasan yang kuat bagi LHS untuk mengajak masyarakat madrasah bangkit, bangkit untuk menjadi “madrasah lebih baik#lebih baik madrasah” sebagaimana motto yang sering didengungkan selama ini. Madrasah sudah memiliki modal yang kuat untuk bangkit. Modal sejarah, bahwa madrasah adalah akar pendidikan Indonesia yang sudah banyak berkontribusi pembangunan karakter bangsa dan negara. Modal sejarah itulah yang kemudian membangkitkan modal semangat untuk berprestasi dan belajar.

Penulis pernah berkunjung ke MI Wonokasihan, Desa/Kecamatan Jambu yang salah satu siswanya bernama M. Bahrul Alam, yang terganjal ikut OSN tingkat Provinsi, namun Juara I OSN bidang IPA Tingkat Kabupaten Semarang. Di sana kondisi madrasahnya jauh dari standar nasional—untuk mengatakan masih memprihatinkan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kondisi yang terbatas, semangat belajar dan berprestasi siswa-siswi madrasah tidak bisa dibendung lagi.

Program Kebangkitan Madrasah

Modal untuk bangkit sudah dikantongi madrasah. Pertanyaan berikutnya adalah melalui program apa kebangkitan tersebut adakan diwujudkan? Sejauh diskusi yang pernah penulis lakukan di berbagai pertemuan dengan berbagi stakeholder madrasah ada dua program penting yang mendesak harus segera dilakukan untuk kebangkitan madrasah.

Pertama, kebangkitan kualitas guru. Memang diakui bahwa banyak diskusi tentang mutu pendidikan selalu berpusat pada input sistem, seperti infrastruktur, rasio murid-guru, dan sebagai. Namun dalam beberapa tahun terakhir, perhatian telah bergeser kepada proses pendidikan. Nah, proses pendidikan yang baik akan menghasilkan anak didik yang baik. Untuk menjadi proses pendidikan yang baik, harus dicetak guru-guru yang baik pula.

Mckindsay (2007) mengatakan bahwa The quality of an education system cannot exceed the quality of its teachers (kualitas sistem pendidikan tidak akan melampaui kualitas guru-gurunya). Ini artinya, untuk membangkitkan kualitas madrasah, maka membangkitkan kualitas guru adalah sebuah keniscayaan. Guru yang baik akan memberikan impact yang luas bagi outcomes siswa-siswi.

Kedua, selama ini persoalan penting yang dihadapi madrasah adalah keterbatasan dana. Dana pemerintah yang disalurkan melalui Kementerian Agama untuk lebih dari 75 ribu madrasah di Indonesia masih jauh panggang dari api—untuk mengatakan tidak cukup. Oleh sebab itu, diperlukan aksi-aksi untuk menyakinkan kepada DPR, BAPPENAS dan Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan agar anggaran pendidikan untuk madrasah disesuaikan dengan kebutuhan yang ada. Sebab harus diakui, madrasah telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi pencerdasan bangsa. Bagaimana mungkin hal ini tidak didukung dengan memberikan anggaran dana pendidikan yang layak?

Kiranya dua hal tersebut menjadi langkah awal yang penting bagi kebangkitan madrasah, sebagaimana yang diungkapkan LHS. Semoga.

*Disadur dari website kemenag. (alud/riung)